Minggu, 28 Juni 2020

Waspada, Jurnalisme Provokasi Cederai Keamanan Berdemokrasi

RILIS OPINI:


Oleh : Metha Madonna


DEMOKRASI pancasila memberi ruang cukup besar bagi tumbuh kembangnya aspirasi
masyarakat dalam upaya membangun negeri melalui saluran (kanal) konstitusi seperti MPR,
DPR, DPRD atau kontak-kontak pengaduan langsung yang dibuka institusi Pemerintah atau
lewat kanal alternatif seperti media massa maupun media sosial.
Belakangan, kanal alternatif seperti media sosial dinilai lebih aktif untuk
menyampaikan aspirasi publik. Birokrat atau pihak-pihak yang disasar kririk dan keluhan via
media sosial seperti facebook, twitter dan Whatsapp, terlihat jauh lebih responsif walau
belum tentu soal tindaklanjutnya.Aksi responsif birokrat, tokoh atau pihak atas kebijakan atau
peristiwa yang jadi ‘trending topic’ adalah dampak budaya bermedia sosial di masyarakat.
Pada saat bersamaan, kanal-kanal konstitusional terkesan lamban dan tak banyak
berperan bahkan dianggap menimbulkan masalah.Aspirasi publik dengan muatan
kepentingan golongan, kelompok maupun individu mengalir deras di media sosial dalam
penyampaian berbentuk kritik, harapan hingga ratapan. Baik berbahasa santun, terstruktur,
simpatik atau sebaliknya, kotor, serampangan dan menimbulkan kebencian sebagaimana
halnya fenomena berita bohong (hoaks).
Celakanya aspirasi atau motif tersembunyi lainnya yang disampaikan dengan cara-
cara negatif, tidak santun dan cenderung mengobarkan kebencian tidak lagi berada di area
media sosial. Muatan negatif atau disebut provokasi telah merambah di media online
sebagaimana diungkapkan oleh Nazarova, E. A. (2017) dalam jurnalnya yang berjudul
‘Provocations In The Media and Their Perception By The Youth Audience’.
Barangkali muncul pertanyaan memangnya kenapa dengan media online? Pastinya
kelompok media ini sebelumnya berasal dari berbagai media konvensional (cetak dan
elektronik) yang hijrah mengikuti arus digitalisasi jaringan terintegrasi global (internet).
Media mainstream ini bermetamorfosis menjadi e-paper, e-magazine atau radio dan televisi
streaming.
Misalnya seperti surat kabar Kompas untuk saling mendukung menghadirkan Kompas
e- paper dan Kompas.com, surat kabar Republika dilengkapi Republika.co.id dan surat kabar
Rakyat Merdeka dilengkapi dengan Rakyatmerdeka.co.id serta surat kabar Jawa Pos dengan
JawaPos.com dan JPNN.com.
Intinya media online adalah perusahaan atau lembaga penyiaran berbadan hukum atau
minimal punya pemahaman yang cukup mengenai kode etik dan hukum pers yang basis
fundamentalnya adalah independensi.

Kalaupun kemudian lahir media-media online baru dan mandiri sebagai tuntutan era
konvergensi seperti Detik.com, Vivanews.com, Kumparan.com, Okezone.com dan
sebagainya tentunya menjadi tanggungjawab owner, pengelola maupun karyawan perusahaan
media online bersangkutan agar mengedepankan asas independensi pers. Termasuk juga
media online tak berbadan hukum yang tidak terverifikasi di Dewan Pers atau asosiasi
jurnalis.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dewan Pers jumlah media massa baik cetak,
elektronik maupun online 2016 yang terdaftar sebanyak 1645 media yang terbagi menjadi
beberapa bagian, untuk media yang sudah terverifikasi administrasi dan faktual berjumlah 76
media, terverifikasi administrasi sebanyak 289 media, dan sebanyak 1280 media belum
terverifikasi.

Jurnalisme Provokasi
Munculnya jurnalisme provokasi tidaklah serta merta terjadi, melainkan sebagai ujung
ranting dari sebuah proses propaganda politik atau doktrinasi melalui media. Sebagaimana
terjadi di negara Eropa Timur seperti Rusia dan Polandia dimana pemberitaan media
berupaya memengaruhi sikap dan loyalitas rakyat terhadap kondisi negara termasuk orientasi
hidup dan ideologi seperti termuat dalam Poland’s Journalisists; Professionalism and
Politics (Jane Leftwich Curry, 2009).
Jurnalisme provokasi di Tanah Air diawali saat kran kebebasan pers terbuka oleh
momentum reformasi 1998. Euforia kemerdekaan pers dari keterkekangan selama rezim Orde
Baru telah membuat pers mengeksploitasi segala konflik yang terjadi di masyarakat secara
gamblang, kritis dan tajam, namun disampaikan secara dramatis, bombastis dan tendesius
bahkan cenderung menghujat dengan harapan memancing emosi khalayak.
Selanjutnya era reformasi yang didukung terjadinya digitalisasi media berbasis
internet menjadi lahan subur jurnalisme provokasi yang ideal. Tiada lagi kontrol penguasa,
kian diabaikannya kode etik, sementara masyarakat juga tidak mampu membedakan media
online dengan kemerdekaan liar media sosial.
Fenomena jurnalisme provokasi telah bermunculan pada saat Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014 ketika mempertemukan pasangan capres-cawapres Joko Widodo – Jusuf Kalla
dengan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Saat itu marak kampanye negatif (black
campaign) bertebaran di media sosial maupun media online yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Puncaknya justru ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 dimana
pemberitaan bermuatan provokasi bak air bah di media online mupun konvensional.
Utamanya pemberitaan berbasis sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA)
yang bermula Ahok terpeleset kasus penistaan Agama Islam dan Al Qur’an.

Derasnya pemberitaan menghujat dan menuntut Ahok di media online, nyatanya tidak
kalah gencar dengan artikel pembelaan oleh kelompok Pro-Ahok, dalam penyampaian sama-
sama dituangkan dalam bentuk provokatif, saling menjatuhkan dan emosional.
Jika diamati saat ini peristiwa konflik yang ada di masyarakat sering terjadi. Ketika
peristiwa konflik terjadi biasanya akan selalu banyak media yang meliput, karena isu ini
dianggap ‘seksi’ bagi insan pers. Sebab peristiwa yang mengandung konflik adalah salah satu
peristiwa yang dianggap layak untuk dijadikan berita. Konflik dianggap punya nilai berita
tinggi karena biasanya menimbulkan kerugian atau korban (Ben Abidin Santosa, 2017).
Pemberitaan berbasis konflik SARA yang masif dan agresif di media online, ditambah
panasnya perseturuan media sosial tentunya sangat dikhawatirkan dapat menjadi pemicu
semakin meluas dan berkepanjangan konflik. Maka perlu diperhatikan fenomena jurnalisme
provokasi yang mengancam keamanan berdemokrasi.

Waspada Jelang Pilpres 2019
Pastinya jurnalisme provokasi tidaklah semata berasal dari pihak penantang, oposisi
atau kelompok yang kecewa dengan pemerintah petahanan (incumben). Provokasi dalam
bentuk propaganda atau doktrinasi telah melekat dengan kekuasaan otoriter di rezim masa
lalu, jadi peluang saling memprovokasi oleh media massa pendukung salah satu kontestan
Pilpres 2019 bisa saja terjadi.
Tentunya perlu perumusan kriteria definisi dan serangkaian langkah identifikasi
lainnya guna mendeteksi dini munculnya jurnalisme provokasi berbasis sentimen SARA di
Pilpres 2019.
Jika tidak, fenomena pemberitaan atau jurnalisme provokasi dapat mencederai
keamanan berdemokrasi di Tanah Air.
Setidaknya melalui tulisan ini serta riset yang tengah penulis lakukan di Pusat Kajian
Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya membangkitkan
sensor-sensor kepekaan nurani agar setiap insan jurnalis, media massa serta pihak-pihak yang
terlibat lainnya agar selalu mengedepankan unsur kemanusiaan, menjaga persaudaraan antar
umat beragama serta menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam bingkai NKRI


KETERANGAN:
Penulis adalah penerima di Hermawan Sulistyo Fellowship Award (HSFA) 2018 sekaligus
Dosen Pembimbing Mata Kuliah Media Online
Nama : Metha Madonna, S.Sos, M.I.Kom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersepeda Jadi Gaya Hidup Saat Ini